Kerangka Acuan

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Piagam Jakarta (Pembukaan Undang-undang Dasar 1945)

Penjajahan ternyata belum hapus di atas dunia ini. Memang sepertinya terlihat bahwa hampir semua bangsa telah mendapatkan kemerdekaan formal dalam bentuk negara-bangsa yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan unsur-unsur lain yang merupakan hakikat dari kemerdekaan, banyak bangsa dan manusia masih merasakan dampak penjajahan. Mereka menyadari bahwa masa lalu berperan besar dalam menentukan masa kini dan masa depan. Kesadaran ini membawa kepada tuntutan ‘reparasi’ terhadap empat bentuk: pribumi, perbudakan, konflik, dan kolonialisme (Miller dan Kumar, 2007).

Kerangka ini memfokuskan kepada tuntutan reparasi terhadap bentuk keempat, kolonialisme, pada periode sebelum kemerdekaan formal Indonesia pada tahun 1945. Di periode ini, yang menjajah Indonesia adalah negara-negara Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris, serta satu negara Asia, yaitu Jepang. Dalam sejarahnya, penjajahan negara-negara Eropa dilakukan dalam waktu yang sangat lama terhadap negara-negara Islam yang ada di wilayah-wilayah yang kemudian menjadi bagian utama negara-bangsa Indonesia (Feener, 2017; Azra dan Burhanudin, 2017; Abdullah dan Lapian, 2017; Gross, 2007; Steenbrink, 2006; Ricklefs, 2005; Muljana, 2005; Laffan, 2003). Ironisnya, hanya Jepang, yang menjajah dalam waktu relatif singkat, yang memenuhi tuntutan reparasi Indonesia (Dumberry, 2007).

Adalah mengherankan mengapa negara-negara Eropa, khususnya Belanda yang menjajah Indonesia paling lama, belum dituntut Indonesia untuk memberikan reparasi. Padahal seperti Jepang, mereka juga menjajah Indonesia sebelum merdeka. Di Belanda sendiri, dan di dunia internasional, tuntutan reparasi telah muncul dan semakin menguat pada dekade ini (Dunham, 2017; Van Den Herik, 2012; Baehr, 2008; Ken’ichi, 2005). Dalam konteks Indonesia pasca kemerdekaan formal, memang ada beberapa tuntutan reparasi dalam skala kecil yang telah berhasil, seperti kasus Westerling dan Rawagede (Lorenz, 2015). Ada juga tuntutan reparasi dalam skala menengah yang belum berhasil, seperti kasus Konferensi Meja Bundar (Triyana, 2013). Namun, yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia sekarang adalah tuntutan reparasi dalam skala besar, yaitu dari rakyat-rakyat negara-negara Islam yang menjadi cikal bakal negara-bangsa Indonesia terhadap negara-negara Eropa yang menjajah mereka. Selain menjadi bagian dari upaya penyadaran dan pelurusan sejarah bagi rakyat Indonesia, terutama umat Islam, tuntutan reparasi juga adalah bagian dari usaha-usaha pembebasan mereka dari ‘imperialisme dan kapitalisme’, sebagaimana yang dikecam Sukarno dalam pidatonya ‘Indonesia Menggugat’.

Oleh itu, dipandang perlu untuk mendirikan ‘Perkumpulan Indonesia Menggugat’ yang tujuan utamanya adalah menuntut reparasi secara moral, etis, dan hukum terhadap seluruh negara penjajah dan lembaga-lembaga penjajahan mereka, bagi rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Untuk melakukan tuntutan ini, antara lain, Perkumpulan akan menyusun makalah-makalah akademis yang membuktikan secara otoritatif dan terkini bahwa negara-negara penjajah ini wajib memberikan reparasi terhadap Indonesia, melakukan pendidikan dan pelatihan publik untuk meluruskan sejarah Indonesia, menggugat negara-negara penjajah melalui mekanisme pengadilan internasional, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk; dan merumuskan dan mengawal kebijakan-kebijakan yang diambil pasca-reparasi, seperti Universal Basic Income (UBI), Job Guarantee (JOG) dan Baby Bond (BABON).

Rujukan (sesuai urutan penulisan)

MILLER, Jon, Rahul KUMAR, ed. Reparations: interdisciplinary inquiries. Oxford University Press, 2007.

STEENBRINK, Karel A. Dutch colonialism and Indonesian Islam: contacts and conflicts, 1596-1950. Rodopi, 2006.

FEENER, R. Michael. Religious competition and conflict over the longue durée: Christianity and Islam in the Indonesian Archipelago. Asian Journal of Religion and Society, 2017, 5.1: 1-22.

AZRA, Azyumardi, Jajat BURHANUDIN, ed. Indonesia dalam arus sejarah (Jilid 3): Kedatangan & Peradaban Islam. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2017.

ABDULLAH, Taufik, A.B. LAPIAN, ed. Indonesia dalam arus sejarah (Jilid 4): Kolonisasi dan Perlawanan. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2017.

GROSS, Max L. A Muslim archipelago: Islam and politics in Southeast Asia. Government Printing Office, 2017.

STEENBRINK, Karel A. Dutch colonialism and Indonesian Islam: contacts and conflicts, 1596-1950. Rodopi, 2006.

MULJANA, Slamet. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara, 2005.

LAFFAN, Michael Francis. Islamic nationhood and colonial Indonesia: The umma below the winds. Routledge, 2003.

RICKLEFS, Merle Calvin. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Penerbit Serambi, 2005.

DUMBERRY, Patrick. State succession to international responsibility. Brill, 2007.

DUNHAM, Anna. Should There Be Reparations To Post-‐Colonial States?. ODUMUNC 2017 Issue Brief, Fourth Committee: Special Political and Decolonization, 2017.

VAN DEN HERIK, Larissa. Addressing ‘Colonial Crimes’ through Reparations? Adjudicating Dutch Atrocities Committed in Indonesia. Journal of International Criminal Justice, 2012, 10.3: 693-705.

BAEHR, Peter R. Colonialism, Slavery, and the Slave trade: a dutch Perspective. The Age of Apology: Facing Up to the Past, 2008, 229-240.

KEN’ICHI, Goto. Multilayered Postcolonial Historical Space: Indonesia, the Netherlands, Japan and East Timor. 2005.

LORENZ, Chris. Can a Criminal Event in the Past Disappear in a Garbage Bin in the Present? Dutch Colonial Memory and Human Rights: The Case of Rawagede. In: Afterlife of Events. Palgrave Macmillan UK, 2015. p. 219-241.

TRIYANA, Bonnie. Belanda Akan Minta Maaf Kepada Indonesia [daring]. Historia: 30 Agustus 2013 [dilihat pada 16 Desember 2017]. Diakses dari: http://historia.id/modern/belanda-akan-minta-maaf-kepada-indonesia.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, pada hari Maulid Nabi Muhammad saw., maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini:

D E K L A R A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini mendirikan gerakan Indonesia Menggugat. Hal-hal yang mengenai keberlangsungan gerakan d.l.l., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sebagaimana terkandung dalam Kerangka Acuan Pendirian Perkumpulan Indonesia Menggugat di bawah.

Medan, hari 12 bulan Rabiul Awal tahun 1439 H / hari 1 bulan 12 tahun 2017 M

Atas nama bangsa Indonesia,

Surya/Afril

KERANGKA ACUAN PENDIRIAN

PERKUMPULAN INDONESIA MENGGUGAT

A. Latar

Segenap bangsa Indonesia, yang mayoritasnya terdiri dari umat Islam, pasti setuju dengan pembangunan. Namun, sejak kemerdekaan politik Indonesia pada pertengahan abad lalu, pendanaan pembangunan di Indonesia sepertinya dilakukan melalui tiga cara utama: hutang, jual beli, dan investasi. Ketiga cara ini menimbulkan masalahnya masing-masing, apalagi jika ditinjau dari kecaman Sukarno terhadap fenomena imperialisme dan kapitalisme dalam pidatonya sekitar satu abad lalu, Indonesia Menggugat. Berbagai kalangan, termasuk umat Islam Indonesia, melihat bahwa tiga cara pendanaan pembangunan ini bukannya membebaskan Indonesia dari kedua fenomena ini, malah menjerumuskan Indonesia lebih jauh ke dalam keduanya.

Sebenarnya penjerumusan seperti ini terjadi di semua negara pasca-kolonial di seluruh dunia. Di beberapa negara, para intelektualnya telah mencari sebab utama dari penjerumusan ini dan menemukan cara pendanaan sebagai akar dari pohon masalah pembangunan yang mengakibatkan ketergantungan terhadap kedua fenomena di atas. Selama realitas sejarah penjajahan negara-negara ini belum disentuh, selama itu pulalah ketiga cara di atas sepertinya menjadi cara utama untuk pendanaan pembangunan. Pemikiran mendalam terhadap sejarah penjajahan membawa para intelektual ini sampai pada kesimpulan bahwa pendanaan pembangunan sebaiknya mencerminkan masa lalu, tidak melulu masa kini dan masa depan, yang dapat dimulai dengan konsep ‘reparasi’.

Dalam filosofi hukum, secara umum reparasi berarti “replenishment of a previously inflicted loss by the criminal to the victim.” Antara unsur reparasi adalah “restitution, compensation, rehabilitation, satisfaction and guarantees of non-repetition.” Secara sederhana, dalam konteks pendanaan pembangunan Indonesia, hal pertama dan utama yang seharusnya dilakukan sejak kemerdekaan politik Indonesia adalah menuntut reparasi terhadap semua pihak yang pernah menjajah Indonesia sejak dalam bentuk mayoritas kerajaan atau kesultanan Islam. Untuk mewujudkan tuntutan ini, dipandang perlu untuk mendirikan ‘Perkumpulan Indonesia Menggugat’ yang tujuan utamanya adalah “to establish the moral, ethical, and legal case for the payment of Reparations by the Government of all the former colonial powers and the relevant institutions of those countries to Indonesia”.

B. Waktu dan Tempat

Waktu: 1-7 Desember 2017 / 12 – 18 Rabi’ul Awwal 1439 H. Tempat: Medan dan Jakarta.

C. Nama Pendiri Perkumpulan

Surya Darma Hamonangan, Afrilya, Shohibul Anshor Siregar, Maiyasyak Johan, Muhammad Joni, Hasim Purba

D. Rangkaian Acara Pendirian

Hari Pertama, 112 2017: Deklarasi Terbatas, menghasilkan laman indonesiamenggugat.com;

Hari Kedua: 212 2017: Diskusi, menghasilkan Notulen Diskusi dan Deklarasi Publik Terbatas serta Dokumentasi Privat;

Hari Ketiga, 312 2017: Diskusi Lanjut, menghasilkan draf Visi, Misi, Aksi Perkumpulan;

Hari Keempat, 412 2017: Legalisasi, menghasilkan Dokumen Pendaftaran Perkumpulan;

Hari Kelima dan Seterusnya, 512 2017 - dst. : Sistematisasi Administrasi Perkumpulan, seperti Rencana Kerja, Situs, Kantor, dll.; Jaringan di Dalam dan Luar Negeri; Penelitian dan Penulisan; Pelatihan; Pendidikan Publik; Penghimpunan Dana melalui Legal Crowdfunding; Jaringan di Dalam dan Luar Negeri; Gugatan; Advokasi dan Pemberdayaan; dst.